anatomi fisiologi sistem persyarafan
Anatomi sistem persyarafan Struktur otak (eksternal dan internal) ·Struktur syaraf kranial Anatomi sistem persyarafan ·Struktur spinal cord ·Struktur sistem syaraf spinal dan sistem syaraf otonom ·Struktur sensori reseptor ·Reseptor fisiologis Anatomi sistem persyarafan ·Struktur otak (eksternal dan internal) ·Struktur syaraf kranial ·Struktur spinal cord ·Struktur sistem syaraf spinal dan sistem syaraf otonom ·Struktur sensori reseptor ·Reseptor fisiologis
Selasa, 03 Januari 2012
Senin, 02 Januari 2012
1.1 Latar Belakang
Steven
johnson merupakan syndrom kelainan kulit pada selaput lendir orifisium mata
gebital. Prediksi : mulut, mata, kulit, ginjal, dan anus. Steven johnson
tersebut disebabkan oleh beberapa mikroorganisme virus dll.
Syndrom
ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun, kebawah kemudian umurnya bervariasi dari
ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat
soporous sampai koma, mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodiomal
berupa demam tinggi, melaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.
Syndrom
steven johnson ditemukan oleh dua dokter anak Amerika. A. M. steven dan S.C
johnson, 1992 syndrom steven johnson yang bisa disingkat SJS merupakan reaksi
alergi yang hebat terhadap obat-obatan.
Angka
kejadian syndrom steven johnson sebenarnya tidak tinggi hanya sekitar 1-14 per
1 juta penduduk. Syndrom steven johnson dapat timbul sebagai gatal-gatal hebat
pada mulanya, diikuti dengan bengkakdan kemerahan pada kulit. Setelah beberapa
waktu, bila obat yang menyebabkan tidak dihentikan, serta dapat timbul demam,
sariawan padamulut, mata, anus, dan kemaluan serta dapat terjadi luka-luka
seperti koreng pada kulit. Namun pada keadaan-keadaan kelainan simtem imom
seperti HIV dan AIDS serta lapus angka kejadiannya dapat meningkat secara
tajam.
Dari
data diatas penulis tertarik mengangkat kasus syndrom steven johnson karena
syndrom steven johnson sangat berabahaya bahkan dapat menyebabkan kematian.
Syndrom tidak menyerang anak dibawah 3 tahun, dan penyebab syndrom steven
johnson sendiri sangat bervariasi ada yang dari obat-obatan dan dari alergi
yang hebat, dan ciri-ciri penyakit steven johnson sendiri gatal-gatal pada
kulit dan badan kemerah-merahan dan syndrom ini bervariasi ada yang berat dan
ada yang ringan.
( Support, Edisi November 2008 )
( Support, Edisi November 2008 )
1.2 Rumusan
Masalah
1.2.1
Apa
pengertian dari Syndrom Steven Johnson?
1.2.2
Bagaimana
Etiologi Syndrom Steven Johnson?
1.2.3
Bagaimana
manifestasi klinis Syndrom Steven Johnson?
1.2.4
Bagaimana
patofisiologi Syndrom Steven Johnson?
1.2.5
Bagaimana
komplikasi Syndrom Steven Johnson?
1.2.6
Bagaimana
pemeriksaan penunjang Syndrom Steven Johnson?
1.2.7
Bagaimana
penatalaksanaan Syndrom Steven Johnson?
1.2.8
Bagaimana
Asuhan Keperawatan Syndrom Steven Johnson?
1.3 Tujuan
1.3.1
Mendeskripsikan
pengertian dari Syndrom Steven Johnson?
1.3.2
Mendeskripsikan
Etiologi Syndrom Steven Johnson?
1.3.3
Mendeskripsikan
manifestasi klinis Syndrom Steven Johnson?
1.3.4
Mendeskripsikan
patofisiologi Syndrom Steven Johnson?
1.3.5
Mendeskripsikan
komplikasi Syndrom Steven Johnson?
1.3.6
Mendeskripsikan
pemeriksaan penunjang Syndrom Steven Johnson?
1.3.7
Mendeskripsikan
penatalaksanaan Syndrom Steven Johnson?
1.3.8
Mendeskripsikan
Asuhan Keperawatan Syndrom Steven Johnson?
1.4 Manfaat
Mahasiswa dapat mengetahui
tentang pengertian, penyebab, manifestasi
klinis ,
patofisiologi, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaa, komplikasi serta asuhan keperawatan dari syndrom steven
johnson.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Syndrom Steven Johnson
adalah Syndrom yang mengenai kulit, selaput lendir orifisium dan mata dengan
keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat. Kelainan pada kulit berupa
eritema, vesikel / bula dapat disertai purpura. ( Djuanda, 1993
: 107 )
Syndrom Steven Johnson
adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari eropsi kulit, kelainan
mukosa dan konjungtivitis
( Junadi, 1982 : 480 )
Syndrom Steven Johnson
adalah syndrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel / bula, dapat disertai
purpura yang dapat mengenai kulit, selaput lendir yang oritisium dan dengan
keadaan omom bervariasi dan baik sampai buruk. ( Mansjoer, A,
2000 : 136 )
2.2 Etiologi
Penyebab
belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai
penyebab, adalah :
a. Alergi
obat secara sistemik ( misalnya penisilin, analgetik, anti- peuritik ).
Penggunaan obat paling sering pada anak yang berkaitan
dengan timbulnya sindrom ini adalah sebagai berikut:
• Carbamazepine
(Tegretol – pengobatan anti kejang)
• Cotrimoxazole (Septra,
Bactrim dan berbagai nama generik dari trimethoprim-sulfazoxazole). Ini adalah
golongan sulfa antibiotik yang digunakan untuk mengatasi infeksi saluran kemih
dan mencegah infeksi pada telinga
• Sulfadoxine dan
pyrimethamine, digunakan sebagai pengobatan malaria dan pada anak dipakai pada
pasien dengan penyakit immunodefisiensi
b. Alergi
obat secara sistemik ( misalnya penisilin, analgetik, anti- peuritik ).
Penyakit infeksi yang telah dilaporkan dapat menyebabkan
sindrom ini meliputi:
·
Viral:
herpes simplex virus (HSV)1 dan 2, HIV, Morbili, Coxsackie, cat-scratch fever,
influenza, hepatitis B, mumps, lymphogranuloma venereum(LGV), mononucleosis
infeksiosa, Vaccinia rickettsia dan variola. Epstein-Barr virus and
enteroviruses diidentifikasi sebagai penyebab timbulnya sindrom ini pada anak.
·
Bakteri:
termasuk kelompok A beta haemolytic streptococcus, cholera, Fracisella
tularensis, Yersinia, diphtheria, proteus, pneumokokus, Vincent agina,
Legionaire, Vibrio parahemolitikus brucellosis, mycobacteriae, mycoplasma
pneumonia tularemia and salmonella typhoid.
·
Jamur: termasuk coccidioidomycosis, dermatophytosis dan
histoplasmosis.
rotozoa: malaria and trichomoniasis.
c.
Neoplasma
dan faktor endokrin
d.
Faktor
fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X)
e.
Makanan
2.3 Manifestasi
Klinis
Syndrom
ini jarang dijumpai pada usia 8 tahun kebawah. Keadaan umumnya bervariasi dari
ringan sampai berat. Pada
syndrom ini terlihat adanya trias kelainan, berupa :
a.
Kelainan kulit.
Kelainan kulit terdiri
dari eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan
bula
kemudian memecah sehingga terjadi
erosi yang luas. Disamping itu juga dapat terjadi purpura, pada bentuk yang
berat kelainannya generalisata.
b.
Kelainan selaput
lendir
Kelaianan selaput
lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut ( 100 % ) kemudian disusul oleh
kelainan alat dilubang genetol ( 50 % ), sedangkan dilubang hidung dan anus
jarang ( masing-masing 8 % dan 4 % ).
c.
Kelainan mata.
Kelainan mata merupakan
80 % diantara semua kasus yang tersering telah konjungtivitis kataralis. Selain
itu juga dapat berupa konjungtivitis parulen, peradarahan, alkus korena, iritis
dan iridosiklitis. Disamping trias kelainan tersebut dapat pula dapat pula
terdapat kelainan lain, misalnya : notritis, dan onikolisis
2.4 Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas, disangka
disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV.
a. Reaksi
hipersensitif tipe III
Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek
antigen antibody yang mikro presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem
komlemen.Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan leozim
dan menyebab kerusakan jaringan pada organ sasaran ( target- organ ).
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibody yang
bersikulasi dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah
bitir.
Antibiotik tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi
terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat
melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya komplek antigen antibodi ditempat
tersebut. Reaksi tipe ini mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast
sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya reaksi
tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memtagositosis
sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel, serta penimbunan
sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut.
2.5 Patofisiologi
Reaksi alergi tipe IV
b. Reaksi
hipersensitif tipe IV
Reaksi hipersensitifitas tipe IV terjadi akibat limfosit
T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian
limtokin dilepaskan sebagai reaksi radang.
Pada
reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T. Penghasil
limfokin atau sitotoksik atau suatu antigen sehingga terjadi penghancuran
sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat
lambat ( delayed ) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.
2.6 Komplikasi
Komplikasi yang tersering ialah
bronkopneumia yang didapati sejumlah 80 % diantara seluruh kasus yang ada.
Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau darah, gangguan keseimbangan
cairan elektrolit dan syoek pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan
laksimasi.
2.7 Pemeriksaan
Penunjang
Tidak didapatkan
pemeriksaan laboratorium yang dapat membeku dalam menegakkan diagnosis.
a. CBC
( complek blood count ) bisa didapatkan sel darah putih yang normal atau
leukositosis non spesifik, peningkatan jumlah leukosit kemungkinan disebabkan
karena infusi bakteri.
b. Kultur
darah, urin dan luka merupakan indikasi bila dicurigai, penyebab infeksi.
c. Tes
lainya :
·
Biopsi kulit
memperlihatkan luka superiderma
·
Adanya mikrosis
sel epidermis
·
Infiltrasi
limposit pada daerah ferifaskulator
2.8 Penatalaksanaan
a.
Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik
dan lesi tidak menyeluruh sukup diobati dengan preanisone 30 – 40 mg sehari.
Namun bila keadaan umumnya burukdan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat
dan cepat.
Kartikosteroid
merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksamate dan intravena dengan
dosis permulaan 4 – 6 x 5 mg sehari.
Umumnya masa kritis
diatasi dalam beberapa hari. Pasienstevenjohnson berat harus segera dirawat dan
berikan deksametason 6x5 mg intravena setelah masa kritisteratasi, kedaan umum
membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan
secara cepat, tiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari,
deksametason intravena diganti dengan table kortikosteroid, misalnya
prendnisone yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari
kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Lama
pengobatan kira-kira 10 hari.
Seminggu setelah
pemberian kortikosteroid dilakuakn pemeriksaan elektrolit ( K, Na dan CI ) bila
ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x
500 mg / hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi
efek katabolik dari kortikosteroid diberikan diet tinggi protein / anabolik
seperti nandroklok dekanoat dan nanadrolon fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk
devasa ( dosis untuk anak tergantung berat badan ).
b.
Antibiotik.
Untuk mencegah terjadinya
infeksi misalnya bronkopneumia yang dapat menyebabkan kematian, dapat di beri
antibiotik yang jarang menyebabkan alergi, berspektrom luas dan bersifat
sakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.
c.
Infus dan
Transfusi darah
Pengaturan keseimbangan
cairan / elektron dan nutrisi penting karena pasien sukaratau tidak dapat
menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat menurun.
Untuk itu dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan darrow. Bila
terapi tidak memberi perbaikan dalam 2 – 3 ahri, maka daapt diberikan transfusi
darah banyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus yang
disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula
ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik.
d.
Tropikal
Terapi
tropikal untuk lesi dimulut dapat berupa kanalog in orabase. Untuk lesi di
kulit yang erosif dapat diberikan sutratulle atau krim sulfa diarine perak.
BAB III
ASUHAN
KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
a. Data Subyktif
·
Klien
mengeluh demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri
tenggorokan / sulit menelan.
b. Data Obyektif
·
Kulit
eritema, papul, vesikel, bula yang mudah pecah sehingga terjadi erosi yang
luas, sering didapatkan purpura.
·
Krusta
hitam dan tebal pada bibir atau selaput lendir, stomatitis dan pseudomembran di
faring
·
Konjungtiva,
perdarahan sembefalon ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis.
c. Data Penunjang
·
Laboratorium
: leukositosis atau esosinefilia
·
Histopatologi
: infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah merah,
degenerasi lapisan basalis, nekrosis sel epidermal, spongiosis dan edema
intrasel di epidermis.
·
Imunologi
: deposis IgM dan C3 serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.
·
Riwayat kesehatan :
riwayat laregi, reaksi alergi terhadap makanan, obat serta zat kimia, masalah
kulit sebelumnya dan riwayat kanker kulit.
3.2 Diagnosa
- Kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan perpindahan cairan dari intravaskuler ke dalam rongga interstisial, hilangnya cairan secara evaporasi, rusaknya jaringan kulit akibat luka.
- Infeksi berhubungan dengan hilangnya barier/perlindungan kulit
- Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan adanya lendir/sputum
- Nyeri berhubungan dengan kerusakan jaringan kulit
- Gangguan integritas kulit berhungan dengan kerusakan permukaan kulit karena destruksi lapisan kulit
- Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan nyeri saat menelan
- Gangguan citra tubuh : penampilan peran berhubungan dengan krisis situasi, kecacatan, kejadian traumatic
3.3 Perencanaan
Keperawatan
1. Kekurangan
volume cairan tubuh berhubungan dengan perpindahan cairan dari intravaskuler ke
dalam rongga interstisial, hilangnya cairan secara evaporasi, rusaknya jaringan
kulit akibat luka.
Tujuan :
tidak terjadi kekurangan volume cairan
Kriteria
hasil :
·
Haluaran urine individu adekuat (0,5-1,0 mg/kg BB/jam)
·
Urin jernih dan berwarna kuning
·
Membran mukosa lembab
·
TD normal (100-139/60-96 mmHg)
·
Denyut nadi (60-100 x/menit)
·
Kadar elektrolit serum dalam batas normal
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
Kaji dan catat turgor kulit
|
Untuk mengetahui keseimbangan cairan tubuh
|
2
|
Observasi tanda vital
|
Untuk memonitor
keadaan umum klien
|
3
|
Monitor dan catat cairan yang masuk dan keluar
|
Agar keseimbangan cairan tubuh klien terpantau
|
4
|
Timbang BB klien setiap hari
|
Penggantian cairan tergantung pada BB klien
|
5
|
Berikan penggantian cairan IV yang dihitung,
elektrolit, plasma, albumin
|
Resusitasi cairan menggantikan kehilangan
cairan/elektrolit dan mencegah komplikasi
|
6
|
Awasi pemeriksaan laboratorium (Hb/Ht, natrium urine
random)
|
Mengidentifikasi kehilangan darah/ kerusakan SDM,
dan kebutuhan penggantian cairan dan elektrolit
|
- Infeksi berhubungan dengan hilangnya barier/perlindungan kulit
Tujuan :
tidak terjadi infeksi local atau sistemik
Kriteria
hasil :
·
Tidak ada tanda-tanda infeksi (merah, bengkak, panas,
nyeri, fungsio lesi)
·
Leukosit (5000 - 10000/mm3)
·
Kultur luka memperlihatkan jumlah bakteri yang minimal
·
Suhu tubuh dalam batas normal (36,5 - 37,4 C)
·
RR : 16 – 20 x/menit
·
TD : 100-139/60-96 mmHh
·
Pols : 60 – 100 x/menit
·
Luka mencapai penyembuhan tepat waktu, bebas dari
purulen dan tidak demam
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
Monitor tanda-tanda vital
|
Perubahan tanda vital secara drastis merupakan
komplikasi lanjut untuk terjadinya infeksi
|
2
|
Observasi keadaan luka setiap hari
|
Untuk mengidentifikasi adanya penyembuhan
|
3
|
Jaga agar luka tetap bersih atau steril
|
Menurunkan resiko inspeksi dan untuk mencegah
terjadinya kontaminasi silang
|
4
|
Lakukan perawatan luka setiap hari (kompres luka
dengan NaCl) dan bersihkan jaringan nekrotik
|
Untuk mempercepat penyembuhan
|
5
|
Berikan perawatan pada mata
|
Mata dapat membengkak oleh drainase luka
|
6
|
Tingkatkan asupan nutrsisi
|
Nutrisi mempengaruhi sintesis protein dan
fotositosis
|
7
|
Batasi pengunjung dan anjurkan pada
keluarga/pengunjung untuk mencuci tangan sebelum kontak langsung dengan klien
|
Untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang
|
8
|
Pantau hitung leukosit, hasil kultur dan tes
sensitivitas
|
Peningkatan leukosit menunjukkan infeksi, pemeriksaan
kultur dan sensitivitas menunjukkan mikroorganisme yang ada dan antibiotic
yang tepat diberikan
|
9
|
Berikan antibiotic
|
Mengurangi jumlah bakteri
|
- Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan adanya lendir/sputum
Tujuan :
jalan napas efektif
Kriteria
hasil :
·
Klien tidak melaporkan sesak
·
Saturasi oksigen > 96%
·
Lendir (-)
·
Nafas teratur
·
RR 16 – 20 x/menit
·
Bunyi napas vesikuler
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
Monitor frekuensi, irama, dan kedalaman pernapasan
|
Untuk memudahkan dan menentukan intervensi selanjutnya
|
2
|
Auskultasi paru, perhatikan stridor, mengi
|
Obstruksi jalan napas dapat terjadi sangat cepat
atau lambat
|
3
|
Ajarkan batuk efektif
|
Latih batuk efektif penting untuk menghindari
komplikasi yang terjadi dan meningkatkan ekspansi paru
|
4
|
Lakukan penghisapan (suction) bila klien tidak bisa
mengeluarkan lendir
|
Mengurangi lendir dan membersihkan jalan nafas
|
5
|
Berikan oksigen yang sudah dilembabkan
|
Kelembaban akan mengencerkan sekret dan mempermudah
ekspektorat
|
6
|
Pertahankan jalan napas melalui pemberian posisi
yang tepat (tinggikan kepala tempat tidur 15 – 30 derajat)
|
Jalan napas yang paten sangat krusial untuk fungsi
respirasi/ meningkatkan ekspansi paru
|
- Nyeri berhubungan dengan kerusakan jaringan kulit
Tujuan :
nyeri dapat dikontrol/hilang
Kriteria
hasil :
·
Klien melaporkan nyeri berkurang
·
Skala nyeri 0-2
·
Klien dapat beristirahat
·
Ekspresi wajah rileks
·
RR : 16 20 x/menit
·
TD : 100-139/60-96 mmHg
·
Pols : 60 – 100 x/menit
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
Kaji tingkat skala nyeri 1 – 10, lokasi dan intensitas
nyeri
|
Untuk mengetahui tingkat nyeri klien dan merupakan
data dasar untuk memberikan intervensi
|
2
|
Kaji tanda-tanda vital (TD, RR, Pols)
|
Untuk memonitor keadaan klien dan mengetahui
terjadinay syok neurologik
|
3
|
Anjurkan dan ajarkan klien tehnik relaksasi nafas
dalam, distraksi, imajinasi
|
Untuk mengurangi persepsi nyeri, meningkatkan
relaksasi dan menurunkan ketegangan otot
|
4
|
Tingkatkan periode tidur tanpa gangguan
|
Kekurangan tidur dapat meningkatkan persepsi nyeri
|
5
|
Kolaborasi dalam pemberian obat analgetik
|
Membantu mengurangi/menghilangkan nyeri
|
- Gangguan integritas kulit berhungan dengan kerusakan permukaan kulit karena destruksi lapisan kulit
Tujuan :
integritas kulit menunjukkan regenerasi jaringan
Kriteria
hasil :
·
Luka mencapai penyembuhan tepat pada waktunya dan
bebas dari purulen
·
Tidak ada tanda-tanda infeksi (nyeri, merah, bengkak,
panas, fungsio lesi)
·
Kulit membaik/ terjadi regenerasi jaringan
·
TD : 100-139/60-96 mmHg
·
Pols : 60 – 100 x/menit
·
Suhu : 36,5- 37, 4 C
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
Kaji ukuran, warna luka, perhatikan jaringan
nekrotik dan kondisi sekitar luka
|
Memberikan informasi dasar tentang kondisi luka
|
2
|
Berikan perawatan luka yang tepat dan tindakan
kontrol infeksi
|
Meningkatkan pemulihan dan menurunkan risiko infeksi
|
3
|
Berikan lingkungan yang lembab dengan kompres
|
Lingkungan yang lembab memberikan kondisi optimum
bagi penyembuhan luka
|
4
|
Dorong klien untuk istirahat
|
Untuk mendukung pertahanan tubuh
|
5
|
Tingkatkan masukan nutrisi, protein dan karbiohidrat
|
Untuk meningkatkan pembentukan granulasi yang normal
dan kesembuhan
|
6
|
Berikan obat sistemik
|
Memperlancar terapi dan mempercepat proses
penyembuhan
|
- Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan nyeri saat menelan
Tujuan :
nutrisi klien terpenuhi
Kriteria
hasil :
·
Tidak terjadi penurunan BB/BB ideal
·
Nafsu makan meningkat
·
Lesi di bibir/mulut tidak ada
·
Makanan yang disediakan 80% dihabiskan
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
Anjurkan keluarga untuk membersihkan mulut klien
sebelum dan sesudah makan
|
Untuk meningkatkan nafsu makan dan memberikan rasa
|
2
|
Kaji terhadap malnutrisi dengan mengukut tinggi dan
BB, usia, protein serum, hematokrit
|
Memberikan pengukuran objektif terhadap status
nutrisi
|
3
|
Berikan makan dan makanan kecil sedikit tapi sering
|
Membantu mencegah distensi gaster dan meningkatkan
pemasukan
|
4
|
Berikan tambahan suplemen untuk memberikan kebutuhan
nutrisi
|
Membantu memenuhi kebutuhan nutrisi klien
|
5
|
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan
kebutuhan nutsi klien
|
Agar kebutuhan nutrisi klien terpenuhi
|
6
|
Kolaborasi dengan tim medis tentang makanan
pengganti (enteral /parenteral)
|
Memberikan dukungan nutrisi bila klien tidak bisa
mengkonsumsi jumlah yang cukup banyak peroral.
|
7
|
Awasi pemeriksaan laboratorium (albumin, serum,
kreatinin, transferin, nitrogen urea urine
|
Indicator kebutuhan nutrisi dab keadekuatan diet
|
- Gangguan citra tubuh : penampilan peran berhubungan dengan krisis situasi, kecacatan, kejadian traumatic
Tujuan :
terjadi perbaikan penampilan peran
Kriteria
hasil :
·
Klien tidak berperasaan negative tentang dirinya
·
Klien menyatakan penerimaan situasi diri
·
Klien tidak takut/malu berinteraksi dengan orang lain
·
Klien bicara dengan keluarga terdekat tentang situasi/
perubahan yang terjadi
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
Kaji makna kehilangan/perubahan pada pasien/orang
terdekat
|
Episode traumatic mengakibatkan perubahan tiba-tiba
|
2
|
Terima dan akui ekspresi frustasi, ketergatnungan,
marah, kedukaan. Perhatikan perilaku menarik diri dan penggunaan penyangkalan
|
Penerimaan perasaan sebagai respons normal terhadap
apa yang terjadi membantu perbaikan
|
3
|
Bersikap realistis dan positif selama pengobatan,
pada penyuluhan kesehatan dan menyusun tujuan dalam keterbatasan
|
Meingkatkan kepercayaan dan mengadakan hubungan
antara pasien dan perawat
|
4
|
Berikan harapan dalam parameter situasi individu
|
Meningkatkan perilaku positif dan memberikan
kesempatan untuk menyusu tujuan dan rencana untuk masa depan berdasarkan
realita
|
5
|
Berikan penguatan positif terhadap kemajuan dan
dorong usaha untuk mengikuti tujuan rehabilitasi
|
Kata-kata penguatan dapat mendukung terjadinya
perilaku koping positif
|
6
|
Dorong interaksi keluarga dan dengan tim medis
rehabilitasi
|
Mempertahankan /membuka garis komunikasi dan
memberikan dukungan terus-menerus pada pasien dan keluarga
|
BAB IV
PENUTUP
4.1
KESIMPULAN
Syndrom steven johnson
merupakan syndrom yang mengenai julit, selaput lendir, di orifisum dan mata
dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat. Kelainan pada kulit
berupa entema, vesikel atau bula dapat disertai purpura.
Beberapa faktor yang
dapat dianggap sebagai penyebab, yaitu meliputi alergi obat (misalnya,
penisilin, analgetik, anti peuritik ). Infeksi mikroorganisme ( bakteri, virus,
jamur, parasit ). Neoplasma dan faktor endoktrin, faktor fisik, dan makanan.
Pada
syndrom ini terlihat adanya trias kelainan, berupa : kelainan kulit yang
terdiri daribatuk eritema, vesikel dan bula, kelainan selaput lendir di
orivisium, dan kelainan mata yang ditemukan konjungtivitis kornea.
4.2 SARAN
1) Untuk
rumah sakit
§ Rumah
sakit mampu memberikan pelajaran yang baik pada klien
§ Rumah
sakit membantu klien dan keluarga dalam membuat keputusan
2) Untuk sesama profesi / perawat
§ Perawat
selalu melakukan pengawasan 1 x 24 jam pada klien
§ Perawat
harus mengetahui sejauh mana perkembangan kesehatan klien
§ Perawat
harus memberikan asuhan keperawatan dengan benar dan bertanggung jawab
3) Untuk
keluarga / klien
§ Keluarga
harus mengawasi dan membatasi aktivitas klien
§ Keluarga
harus memberikan nutrisi yang adekuat
kepada klien agar kesehatan klien cepat membaik
DAFTAR PUSTAKA
Doenges. 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC
Mansjoer, Arif dkk.2000.kapita selekta kedokteran.jakarta:Media
Aesculapus
Keperawatan medikal bedal,Brunner
& suddarth.
Langganan:
Postingan (Atom)